Sehat dan Sintas Selalu

8 Maret 2014. Selamat Hari Perempuan Internasional!

9 Maret 2014. Kemarin, 8 Maret, saya bersama salah satu lembaga tempat saya bernaung, sebuah lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan, mengadakan diskusi kecil-kecilan tentang Kesehatan Perempuan, dan kemarin juga, sepulang diskusi dan berselancar di jejaring sosial barang sesaat diantara jeda untuk rehat, salah seorang kenalan perempuan, berteriak-teriak di halaman Facebook, bahwa bukan saatnya lagi perempuan berteriak-teriak (mungkin seperti yang sedang dilakukannya ya..) untuk mendapatkan hak-haknya, perempuan sudah setara (oh ya?! kenapa saya tak bisa pulang malam seenaknya? kenapa memandang buruk jika saya bercelana pendek? kenapa saya tak boleh begini dan begitu, ah, ya, bukan soal itu bukan?). Bahwa katanya, selebrasi mengecilkan makna perjuangan dan eksistensi itu sendiri, “why we still need one day to celebrate a women’s day? because we still think this is a men’s world.” But IT IS! Sorry Madam, you better try to deal with it and suck it! Truth hurts. Menyangkal mungkin memang salah satu tabiat yang mungkin alami dari manusia, termasuk juga saya, yang pada banyak tahapan dalam hidup saya, sebenarnya lebih ingin menjadi binatang, liar dan apa adanya. Tapi ternyata saya tak bisa memilih, saya terlahir sebagai manusia, kebetulan perempuan, dari rahim seorang perempuan, dari benih ayah saya yang seorang laki-laki, dan saya sama sekali bukan perempuan yang anti laki-laki (saya merasa perlu menegaskan, saya kerap dianggap feminis hanya karena bicara soal perempuan, padahal sama sekali bukan, sidang pembaca harap bebaskan diri dulu dari belenggu asumsi-asumsi semacam itu), bukan juga perempuan yang merengek-rengek semua laki-laki adalah bajingan (seperti di sinetron-sinetron tv lokal, tapi tetap saja mau dinikahi laki-laki, tetap saja mau dibuahi! dan tetap saja ada yang nonton!), tapi saya tak bisa menutup mata, menutup telinga, kekerasan, pelecehan, penelantaran, perkosaan terhadap perempuan, sama sekali tak langka seperti beberapa spesies paus atau hiu di Samudera Hindia. Bahwa kasus kekerasan yang terjadi di dunia nyata, lebih dari apa-apa yang bisa digambarkan oleh sinetron-sinetron konyol itu, sometimes, reality are much stranger than fiction.

Mari bicara soal fakta, realita, logika mungkin sebaiknya belakangan saja. dari banyak kasus yang didampingi lembaga saya, tindakan kekerasan (dalam berbagai bentuk), terutama, terjadi di kalangan kelas menengah kebawah, namun data yang saya temukan beberapa hari yang lalu, bahkan angka tingkat kekerasan terhadap perempuan di negara-negara maju di benua Eropa sekalipun tak jauh bedanya dengan yang terjadi di negara yang biasa kita sebut Dunia Ketiga ini. Lalu, me-negasi pernyataan di awal, berdasarkan fakta dan data yang saya temukan belakangan, bahwa ternyata hal ini juga bukan cuma terjadi di kalangan bawah saja, tapi juga menimpa mereka kalangan berada, terpelajar, berpunya, lalu, tidak pandang usia, tua muda, saya kadang geli sendiri, kalau ada yang senang berteriak-teriak, “salah sendiri, pakai pakaian seksi” teriakan yang kadang di teriakkan oleh perempuan kepada perempuan lain yang jelas-jelas tengah jadi korban, padahal kasus perkosaan juga tidak pandang pakaian, jilbaban, rok minian, kalau kata bang napi, niat pelaku, kesempatan, sudah, jalan. Atau, jika saya, atau anda, sidang pembaca, para perempuan mau jujur, benarkah sepanjang usia tak pernah mengalami, jikalaulah bukan perkosaan, setidaknya pelecehan seksual? benarkah yang menutup aurat juga bebas dari pelecehan? tidak pernah sama sekali mengalami percobaan pelecehan? tentu sangat beruntung perempuan yang bebas dari pelecehan dan percobaan pelecehan itu.

Sesederhana itu kadang bagaimana banyak hal terjadi. Terkadang mungkin hanya karena ada kesempatan, tak harus diawali dengan niat juga barangkali. Ade Sara, belakangan tenar sekali namanya, seorang perempuan yang hilang nyawanya karena lelaki dari masa lalunya tak mampu berdamai dengan realita, lelaki yang bersama dengan teman perempuan barunya melakukan pembunuhan yang terencana terhadapnya, ramai-ramai orang berteriak-teriak di berbagai sosial media yang tak terhitung jumlahnya itu, menghujat dan menghujani kedua pelaku yang masih tergolong remaja itu, kita tengah melakukan selebrasi bukan? perayaan si baik atas si buruk, perayaan si moral bahwa akhirnya si biadab akan dihakimi, diluar ataupun didalam pengadilan. Selebrasi, saya tak paham betul lah, perayaan yang mana? tidakkah segala teriakan yang berseliweran di halaman sosial media setiap harinya itu juga adalah bagian dari selebrasi, adalah perayaan kita terhadap diri sendiri, perayaan terhadap teknologi, ideologi, perayaan terhadap publikasi ruang privat, hidup ini berhura-hura, saya percaya manusia butuh merayakan banyak hal, terlepas itu akan membesarkan, mengecilkan eksistensi suatu hal (yang entah akan diukur dengan apa). Dan, jika hari ini kami kembali berkumpul, berteriak, berbagi, di ruangan kami sendiri, merayakan kenangan-kenangan yang pahit-pahit kopi, yang meski pahit tapi diteguk juga, maka beritahu saya, mengapa menjadi kecil eksistensi kawan-kawan saya jika mereka berkumpul dan saling menyadarkan satu sama lain, bahwa mereka tetap ada dari segala keadaan dan ketiadaan yang mereka lalui? mereka tidak merengek Nyonya, mereka tidak sedang minta pengakuan, tidak pada Tuan, apalagi pada Nyonya. Hidup, bagi mereka, tentu tak segampang logika Tuan dan Nyonya. Bagi kawan-kawan saya, yang mungkin lebih penting adalah, menjadi sehat, dan sintas, selalu.

Image

Leave a comment