Tano Niha

Matahari baru saja menggeliat naik ketika saya sampai di Binaka, bandar udara Nias, pulau terbesar dari seluruh deretan pulau di sebelah barat Sumatera. Sinarnya tak terik, namun udara hangat dan lembab. Saya berangkat dari Medan menuju Nias melalui Polonia, dengan misi utama, Pelatihan Pengurangan Resiko Bencana. Saya dan seorang rekan sekantor, berasal dari Padang, sedari Subuh kami sudah bersiap-siap, kami tak sabar melihat Tano Niha. Kami awalnya agak kebingungan sesampai di bandara, kami tidak melihat beberapa kawan sepenginapan sesama peserta pelatihan yang sudah kami temui malam sebelum keberangkatan, saya dan kawan rehat sejenak, bangun dan packing pagi-pagi sekali membuat mata kami cukup berat. Saya melihat beberapa orang lain juga gelisah seperti halnya kami yang tak berkawan dan tak menemukan jemputan. Kami berkenalan dan ternyata benar, orang-orang yang saya lihat itu adalah sesama peserta Pelatihan yang notabenenya diadakan bagi pekerja-pekerja LSM se Sumatera.
Mata saya tiba-tiba menemukan sosok lelaki berbaju biru dengan tulisan LEARN di punggung, Local Emergency Assessment Response Network, yang saya tahu, merupakan program pelatihan yang akan saya ikuti, saya temui dia, dan benarlah, dialah penjemput yang kami nanti yang juga sedang mencari-cari kami. Setelah berkumpul, ada beberapa orang di list jemputan yang tak nampak batang hidungnya di bandara, saya sendiri masih ingat beberapa wajah yang sepenginapan dan satu bis menuju Polonia subuh ini, yang sepengetahuan saya juga akan menjadi peserta pelatihan dan kelak kami ketahui, ketinggalan pesawat. Kami sendiri kemudian diangkut ke LTC.
Livelihood Training Center Yayasan Holiana’a, teletak di desa Sinamaere, Nias Utara, saya mengingatnya sebagai sebuah self sufficient community center, perkampungan mikro kecil berdikari yang menarik sebagai pusat pelatihan, ada beberapa bangunan, beberapa area bangunan yang digunakan sebagai hunian, beberapa MCK, hall serba guna, kantin serba ada, dan beberapa titik untuk berladang dan beternak. Di LTC ini kami melewati seminggu pertama di Tano Niha dan untuk hari-hari selanjutnya akan praktek lapangan di daerah yang lebih terpencil. Sore pertama di Sinamaere, saya ikut kawan-kawan ke pantai, pantainya tak jauh beda dengan pantai yang ada di Padang, tidak berpasir putih, tapi anginnya lebih tenang, saya menemui seorang nelayan yang sedang memperbaiki perahu, ia tersenyum, seperti kebanyakan ono niha yang saya temui di kemudian hari, mereka ramah sekali pada orang asing dan pendatang, bahkan tak keberatan untuk menyapa terlebih dahulu. Nelayan itu bergigi merah, saya tak tanya namanya, kami mengobrol saja, terkadang ia malu-malu tersenyum, berusaha menyamarkan giginya, yang saya tidak bisa tidak terpesona karenanya, saya kembali ke masa lalu, ingat perempuan-perempuan tua dahulu sewaktu saya masih kecil, biasa mengunyah sirih terus menerus sampai giginya merah, tetapi di Nias laki-laki yang justru senang sekali mengunyah sirih bercampur gambir, meski sebenarnya tak ada larangan bagi perempuan untuk ikut melakukannya. Sang nelayan, mungkin berusia paroh 60an, berperawakan sedang, kulitnya yang terbakar tak mampu menyembunyikan kulit aslinya yang lebih terang, seperti kulit orang Nias umumnya, matanya kecil, disini kadang saya tak mampu membedakan mana penduduk Nias mana warga Tionghoa atau di lain waktu saya kerap merasa sedang berada di Kampung Cina. Kami tak mengobrol lama, bercerita alakadarnya tentang tangkapan dan pengalamannya ketika tsunami menerjang Nias 2006 silam, kelak saya ketahui, meskipun kepulauan, menjadi nelayan bukan pekerjaan yang banyak ditekuni masyarakat Nias. Kawan-kawan baru saya sudah menunggu, mereka sudah tak sabar untuk ke dermaga kecil yang kebetulan tak jauh dari tempat kami berada yang biasanya hanya disinggahi kapal-kapal tanker yang bongkar muat.
Sore kedua, sehabis pelatihan saya memilih santai sesaat di kantin, membiarkan kawan-kawan lain pergi ke pantai yang kemarin sudah kami sambangi, setelah cukup pulih, saya memutuskan pergi sendiri, tidak tahu kemana, saya hanya ingin berjalan-jalan saja, saya sendiri masih sedikit kecewa, bayangan saya tentang Nias sebelumnya jauh berbeda dari apa yang saya saksikan, saya membayangkan sebuah masyarakat dan komunitas yang tradisional, wilayah dimana acara-acara adat, pola hidup tradisi terpelihara, tapi ternyata Nias berbeda dengan bayangan di kepala saya. Ah, siapakah yang sanggup tak bersentuhan dengan modernitas? Saya terus berjalan pelan, kali ini saya tak ingin lagi membayangkan apapun, saya mau ke depan hanya akan ada kejutan.
Kejutan itu datang begitu saja, malamnya saya diajak salah seorang petugas LTC, menyambangi rumah salah seorang penduduk yang letaknya tak jauh dari LTC, malam itu malam kebaktian, sesaat, saya tak mampu tak terpuruk dalam prasangka, menjadi satu-satunya muslim dan pendatang di antara jemaat gereja Amin adalah pengalaman yang tidak mungkin saya nafikan dari pikiran, saya bahkan tak sering ke mesjid, meski juga tak sedang berada di gereja, kebaktian di luar hari Minggu biasanya diselenggarakan di rumah salah seorang jemaat, saya melihat saja, jantung saya berdetak seperti habis berlari setengah lapangan, sesekali saya ikut berdiri mengikuti jemaat bertepuk tangan melagukan kidung puji-pujian pada Yesus, beberapa begitu syahdu, beberapa yang lain terasa bersemangat, tak ada piano seperti gereja-gereja yang saya baca dalam cerita, perempuan pemilik warung goreng pisang yang saya temui pada sore harinya yang memetik senar gitar, ia bermain cantik, secantik wajah orientalnya meski dengan kulit yang terpanggang matahari pesisir. Berkat kegiatan para penyiar agama Kristen dari Rheisnische Mission Gesellschaft yang datang sekitar pertengahan Abad 19, sebagian besar penduduk Nias kini beragama Kristen Protestan, tak seperti negeri-negeri di Sumatera pada umumnya, Hindu Budha tak menorehkan sejarah di tanah ini, penduduk muslim yang ada disini kabarnya kebanyakan berasal ataupun keturunan Minang, Aceh dan Bugis, sedangkan Budha biasa dibawa oleh warga Tionghoa. Dalam Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Koentjaraningrat menyebutkan, agama asli penduduk Nias adalah pelebegu, nama yang diberikan pendatang, yang berarti penyembah ruh, penduduk asli sendiri menyebutnya dengan molohe adu, penyembah adu, penyembahan ruh leluhur yang mereka representasikan melalui patung-patung yang disebut adu, namun seiring dengan gelombang masuknya para penyiar agama, dari salah seorang teman yang sudah menahun mendiami Nias, hampir tak ada lagi penduduk yang memeluk kepercayaan asli ini, hampir mustahil untuk menemukan adu sebagai jejak sejarah Nias selain di museum ataupun di Nias bagian selatan, yang peninggalan megalitiknya masih cukup terpelihara, walaupun mungkin semata untuk tujuan pariwisata.
Kebaktian diakhiri dengan sesi untuk berdoa, semua jemaat boleh meminta untuk didoakan, saya tak ingin ketinggalan, saya minta didoakan agar dapat kembali ke Nias lain hari, ah, cara yang baik untuk mengakhiri hari.
Di penghujung minggu, kami berkunjung ke museum Gunung Sitoli, disini terdapat segala macam jenis benda sisa-sisa kebudayaan megalitik Nias, museum tak mengizinkan pengunjung untuk membawa kamera dan mengambil gambar, yang otomatis membuat kawan-kawan kecewa, beberapa kawan memilih mengelilingi kebun binatang. Saya sendiri memilih istirahat sejenak di pelataran museum, kepala saya masih teramat berat oleh sisa begadang dan tuak semalam, “tak lengkap datang ke Nias bila tak mencicipi tuak nifaro” begitu kata salah seorang panitia yang berasal dari Nias, di kota saya, koran-koran lokal semarak oleh pemberitaan perda minuman keras, di sini tuak menjadi minuman pamungkas, ia bahkan disuguhkan dalam pesta adat, saya tak tahu catatan tentang angka kejahatan disini yang diakibatkan oleh minuman keras, tapi di kota saya, di lembaga saya, kejahatan dilakukan oleh mereka yang mabuk dunia, bukan mabuk minuman keras.
Keesokan hari saya dan kawan-kawan diangkut ke Ononamolo Tumula, desa yang berada di kecamatan Alasa, Nias Utara. Saya tak ingat persis, berapa jauh dan lama perjalanan kami kesana, tapi saya masih ingat dengan baik, dibeberapa bagian, kendaraan kami tak menempuh jalan, melainkan menjajal pasir yang digapai-gapai sisa ombak, kami sempat berhenti di sebuah pantai, mungkin tak bernama, matahari terik, ombak meninggi silih berganti, tak lengkap bila tak mengabadikan momen, namun kami segera melanjutkan perjalanan dan berhenti di sebuah pasar kecil. Pasar tak berpenghuni, hanya ada balai-balai tempat menjajakan dagangan, seperti di banyak desa yang saya tahu, pasar biasanya hanya satu atau dua kali dalam seminggu, pasar ini pun agaknya tak berbeda. Nias, tentu saja tak akan seperti Jakarta, atau seperti kebanyakan kota-kota besar lainnya di Sumatera, meski tak jauh dari Medan yang sudah menjadi salah satu kota metropolitan di Indonesia, pendar gemerlapnya tak sampai ke Nias. Dari pasar, kami semua melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, bahkan mobil berpenggerak empat roda sekalipun, sebaiknya cukup dengan beban seadanya. Jalan yang kami lalui penuh dengan karang dan becek sisa hujan di beberapa bagian, makin ke dalam, saya lihat sebuah sungai, airnya hitam, seperti kopi yang biasa saya seduh tiap pagi hari. Desa yang kami lalui, tak terlalu sepi, meski juga tak ramai, rumah demi rumah di sisi jalan, sesekali gereja, anak-anak bermain di halamannya, sebagian bermain di depan rumah masing-masing, kelak saya sadari, kebanyakan rumah di Nias terutama di Ononamolo Tumula, dihuni lebih dari satu kepala keluarga, satu keluarga bisa terdiri dari lima orang, ibu, bapak, tiga sampai empat orang anak yang biasanya tak jauh berbeda usianya, akan sering saya temui rumah-rumah dipenuhi oleh anak-anak. Penyuluhan KB juga mungkin tak pernah sampai kemari, tidak juga penyuluhan sanitasi, tidak sampai tsunami menerjang dan beberapa lembaga asing datang dengan bantuan dan program yang juga bekerja sama dengan pemerintah, saya lihat sisanya berupa papan yang menegaskan bahwa desa ini merupakan wilayah sadar jamban, di sisi jalan yang lain, saya juga temui sumur yang digunakan masyarakat tak menyiratkan hal itu. Dan yang juga akan saya dengar kelak, desa ini sudah beberapa bulan itu terjangkit wabah, kemungkinan hepatitis, belasan orang meninggal, ditambah satu orang di malam terakhir keberadaan kami disana.
Kami habiskan hari di Ononamolo Tumula dengan mempraktekkan apa yang sudah disampaikan dalam materi di minggu sebelumnya di Sinamaere. Tapi setidaknya saya punya satu hari untuk jalan-jalan, tanpa beban pekerjaan, setelah semua rangkaian kegiatan pelatihan yang kurang lebih dua minggu, kami berkesempatan ke Nias Selatan untuk mengunjungi Bawo Matuluwo, desa tempat lompat batu dan tari perang masih diselenggarakan. Butuh melalui tangga yang terjal untuk memasuki perkampungan ini, saya tak habis pikir, bagaimana bisa kampung kecil dengan peninggalan megalitik ini begitu datar di ketinggian, bagaimana batu-batu besar itu diangkut, saya pura-pura berspekulasi sendiri, agar merasa sedang menonton langsung dokumenter BBC. Saya ingat saya bersemangat sekali ketika itu, sepanjang perjalanan menuju Bawo Matoluwo, akhirnya saya menemui hal yang sangat jarang saya temui di Nias, areal persawahan, meski tak bagai permadani hijau membentang. Lautnya dari ketinggian terlihat seperti lapisan demi lapisan kue biru, dengan topping icing sugar, langit putih bersih.
Bawo Matuluwo, kami disambut anak-anak yang menjajakan dagangan; kalung, gelang, batu, berbagai cendera mata, seorang pria paruh baya memandu kami, kabarnya, ia yang dulu gambar nya diabadikan dalam mata uang kertas Rp.1000, saya banyak bertanya padanya, tapi mungkin ia hanya tertarik untuk menjual beberapa hal yang saya tanyakan padanya. Kami akan menyaksikan lompat batu, saya sibuk dengan kamera, saya lihat si pelompat telah bersiap-siap, saya tetap sibuk dengan kamera, mempersiapkan jepretan yang cukup baik, lalu, dalam hitungan detik, tanpa saya sadari si pelompat berlari menuju batu, melompatinya, mendarat, lalu… sudah, pertunjukan selesai. Saya bengong, bingung sendiri, semakin bingung dengan kamera di tangan yang sudah tak tahu akan diapakan, kawan-kawan lalu merapat kepada si pelompat, saatnya sesi foto-foto, saya semakin bingung, saya fikir akan menyaksikan beberapa kali lompatan, tapi tidak, sekali saja, dan saya kehilangan momen, sebenarnya, bisa saja saya membelinya, seharga 200 ribu sekali lompatan, saya tak punya uang sebanyak itu. Seorang anak lelaki membuntuti saya, ia tak bawa dagangan, tapi jelas, ia sedang menyediakan diri sebagai tour guide, sesekali dia menawari saya barang yang di jual teman-temannya, saya beli beberapa sebagai cendera mata, tapi saya lebih senang mengobrol dengannya, usianya mungkin awal belasan, cukup cekatan sebagai pemandu wisata, meski tak tahu banyak tentang tradisi dan budaya Bawo Matuluwo. Ia tak sendiri, ada banyak anak di Bawo Matuluwo yang berprofesi serupa, dan mungkin bukan hanya anak-anak saja. Anak-anak, sebagian yang lain tengah asik bermain, bermain.. lompat gelas, mereka menumpuk beberapa gelas plastik sisa minuman dan melompatinya, saya terkesima melihat betapa tinggi lompatan mereka, saya kemudian tak keberatan sama sekali telah kehilangan momen Lompat Batu yang terkenal itu, setidaknya saya dapatkan momen yang lain, gambar dimana anak-anak dengan suka cita bermain dan mewarisi apa yang disisakan leluhurnya, suka cita yang menular dan menjalari saya, untuk menutup cerita perjalanan saya dengan gembira.

Kelas

Wajah kelas, katanya. Saya ingat salah satu postingan beberapa hari lalu, pembela hak manusia meneriaki pembela hak binatang. Wajah kelas, dalam persepsi saya, adalah wajah sosial media, dimana inter dan antar kelas berteriak-teriak setiap harinya. Si fundamental meneriaki si liberal, si marxis meneriaki si neoliberalis, dan sebaliknya, dan selainnya. Wajah kelas, adalah mungkin wajah saya juga, wajahnya halaman kitab wajah, Facebook. Saya, berteriak-teriak juga akhirnya.
Image
100! yang ini memang wajah babi kok.

Sehat dan Sintas Selalu

8 Maret 2014. Selamat Hari Perempuan Internasional!

9 Maret 2014. Kemarin, 8 Maret, saya bersama salah satu lembaga tempat saya bernaung, sebuah lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan, mengadakan diskusi kecil-kecilan tentang Kesehatan Perempuan, dan kemarin juga, sepulang diskusi dan berselancar di jejaring sosial barang sesaat diantara jeda untuk rehat, salah seorang kenalan perempuan, berteriak-teriak di halaman Facebook, bahwa bukan saatnya lagi perempuan berteriak-teriak (mungkin seperti yang sedang dilakukannya ya..) untuk mendapatkan hak-haknya, perempuan sudah setara (oh ya?! kenapa saya tak bisa pulang malam seenaknya? kenapa memandang buruk jika saya bercelana pendek? kenapa saya tak boleh begini dan begitu, ah, ya, bukan soal itu bukan?). Bahwa katanya, selebrasi mengecilkan makna perjuangan dan eksistensi itu sendiri, “why we still need one day to celebrate a women’s day? because we still think this is a men’s world.” But IT IS! Sorry Madam, you better try to deal with it and suck it! Truth hurts. Menyangkal mungkin memang salah satu tabiat yang mungkin alami dari manusia, termasuk juga saya, yang pada banyak tahapan dalam hidup saya, sebenarnya lebih ingin menjadi binatang, liar dan apa adanya. Tapi ternyata saya tak bisa memilih, saya terlahir sebagai manusia, kebetulan perempuan, dari rahim seorang perempuan, dari benih ayah saya yang seorang laki-laki, dan saya sama sekali bukan perempuan yang anti laki-laki (saya merasa perlu menegaskan, saya kerap dianggap feminis hanya karena bicara soal perempuan, padahal sama sekali bukan, sidang pembaca harap bebaskan diri dulu dari belenggu asumsi-asumsi semacam itu), bukan juga perempuan yang merengek-rengek semua laki-laki adalah bajingan (seperti di sinetron-sinetron tv lokal, tapi tetap saja mau dinikahi laki-laki, tetap saja mau dibuahi! dan tetap saja ada yang nonton!), tapi saya tak bisa menutup mata, menutup telinga, kekerasan, pelecehan, penelantaran, perkosaan terhadap perempuan, sama sekali tak langka seperti beberapa spesies paus atau hiu di Samudera Hindia. Bahwa kasus kekerasan yang terjadi di dunia nyata, lebih dari apa-apa yang bisa digambarkan oleh sinetron-sinetron konyol itu, sometimes, reality are much stranger than fiction.

Mari bicara soal fakta, realita, logika mungkin sebaiknya belakangan saja. dari banyak kasus yang didampingi lembaga saya, tindakan kekerasan (dalam berbagai bentuk), terutama, terjadi di kalangan kelas menengah kebawah, namun data yang saya temukan beberapa hari yang lalu, bahkan angka tingkat kekerasan terhadap perempuan di negara-negara maju di benua Eropa sekalipun tak jauh bedanya dengan yang terjadi di negara yang biasa kita sebut Dunia Ketiga ini. Lalu, me-negasi pernyataan di awal, berdasarkan fakta dan data yang saya temukan belakangan, bahwa ternyata hal ini juga bukan cuma terjadi di kalangan bawah saja, tapi juga menimpa mereka kalangan berada, terpelajar, berpunya, lalu, tidak pandang usia, tua muda, saya kadang geli sendiri, kalau ada yang senang berteriak-teriak, “salah sendiri, pakai pakaian seksi” teriakan yang kadang di teriakkan oleh perempuan kepada perempuan lain yang jelas-jelas tengah jadi korban, padahal kasus perkosaan juga tidak pandang pakaian, jilbaban, rok minian, kalau kata bang napi, niat pelaku, kesempatan, sudah, jalan. Atau, jika saya, atau anda, sidang pembaca, para perempuan mau jujur, benarkah sepanjang usia tak pernah mengalami, jikalaulah bukan perkosaan, setidaknya pelecehan seksual? benarkah yang menutup aurat juga bebas dari pelecehan? tidak pernah sama sekali mengalami percobaan pelecehan? tentu sangat beruntung perempuan yang bebas dari pelecehan dan percobaan pelecehan itu.

Sesederhana itu kadang bagaimana banyak hal terjadi. Terkadang mungkin hanya karena ada kesempatan, tak harus diawali dengan niat juga barangkali. Ade Sara, belakangan tenar sekali namanya, seorang perempuan yang hilang nyawanya karena lelaki dari masa lalunya tak mampu berdamai dengan realita, lelaki yang bersama dengan teman perempuan barunya melakukan pembunuhan yang terencana terhadapnya, ramai-ramai orang berteriak-teriak di berbagai sosial media yang tak terhitung jumlahnya itu, menghujat dan menghujani kedua pelaku yang masih tergolong remaja itu, kita tengah melakukan selebrasi bukan? perayaan si baik atas si buruk, perayaan si moral bahwa akhirnya si biadab akan dihakimi, diluar ataupun didalam pengadilan. Selebrasi, saya tak paham betul lah, perayaan yang mana? tidakkah segala teriakan yang berseliweran di halaman sosial media setiap harinya itu juga adalah bagian dari selebrasi, adalah perayaan kita terhadap diri sendiri, perayaan terhadap teknologi, ideologi, perayaan terhadap publikasi ruang privat, hidup ini berhura-hura, saya percaya manusia butuh merayakan banyak hal, terlepas itu akan membesarkan, mengecilkan eksistensi suatu hal (yang entah akan diukur dengan apa). Dan, jika hari ini kami kembali berkumpul, berteriak, berbagi, di ruangan kami sendiri, merayakan kenangan-kenangan yang pahit-pahit kopi, yang meski pahit tapi diteguk juga, maka beritahu saya, mengapa menjadi kecil eksistensi kawan-kawan saya jika mereka berkumpul dan saling menyadarkan satu sama lain, bahwa mereka tetap ada dari segala keadaan dan ketiadaan yang mereka lalui? mereka tidak merengek Nyonya, mereka tidak sedang minta pengakuan, tidak pada Tuan, apalagi pada Nyonya. Hidup, bagi mereka, tentu tak segampang logika Tuan dan Nyonya. Bagi kawan-kawan saya, yang mungkin lebih penting adalah, menjadi sehat, dan sintas, selalu.

Image

ada atau tiada

18 Februari 2014.
Hampir tengah malam, angka di kalender akan segera berganti, saya tidak tahu apa yang saya pikirkan, there are so many things about nothing, mungkin begitu. Nothing, bagi saya, segalanya adalah nothing, hmm, mungkin terkadang saja. tapi mungkin sering kali juga. Ada dari yang tiada, saya senang sekali bercanda dengan diri sendiri dengan konsep seperti itu, terlepas dari konsep seperti itu ada atau tiada.
Tengah malam sudah, saya merasa saya telah menyeret-nyeret hari. seharian saya merasa bergerak begitu perlahan, saya kura-kura yang berpacu melawan ratusan kelinci, kelinci waktu, jam demi jam habis di depan monitor, membaca ini dan itu, makan siang dan kencan ala kadarnya dengan kekasih, lalu melanjutkan kencan dengan layar laptop, membaca ini dan itu lagi, sambil lalu, ya, sambil lalu, lalu…
ya… semua lalu begitu saja, saya si kura-kura yang berteduh dari terik -katakanlah- hidup, mengawasi setiap kelinci waktu melesat melampaui saya, tanpa saya bisa apa-apa, tanpa saya bisa berjalan, apalagi berlari mengejarnya. Tapi saya ini mungkin juga, kura-kura yang hendak jadi kelinci, sebentar lagi saya akan melompat-lompat dengan potongan-potongan cerita dalam kepala saya.
Kekasih saya sedang di luar kota (saya tak tahu, benarkah kota ini kota? kenapa kita menyebutnya kota? tak pahamlah saya) mungkin saya menulis ini karena rindu padanya atau ganjalan-ganjalan lain yang luar biasa, kemarin saya menemaninya ke vihara untuk sembahyang (atau pemberkatan? Tak tahulah, tapi yang pasti, saya yang terlahir di keluarga muslim ini, bahkan jarang ke mesjid!) Saya tak yakin apa yang saya pikirkan tentang Tuhan, tapi kadang saya merasa, Tuhan selalu bersama saya, entah saya ke vihara, mesjid, atau gereja, saya jarang sembahyang, sering alpa berlutut di hadapanNya, tapi kemarin saya menjadi begitu takjub melihat bagaimana orang-orang berTuhan, menyaksikan orang-orang ingin pemberkatan dan terberkati. Sesungguhnya, saya selalu takjub! Saya ingat, di suatu kesempatan, saya pernah ikut kebaktian jemaat gereja Amin di Nias, meski tak berlangsung di gereja, melainkan di rumah salah seorang jemaat, tapi segala puja puji yang saya saksikan ketika itu begitu luar biasa.  Salah satu kekasih saya, yang sekarang jadi mantan pacar, ( tapi bagi saya sekali jadi kekasih, tentu selamanya saya kasihi, saya akan tetap menyebutnya kekasih, orang yang saya kasihi, saya senang pacaran, meski selalu putus ditengah jalan, dan pacar-pacar saya itu, sungguh, guru yang paling menyenangkan) dan mantan pacar ini, saya senang menyebutnya seorang Sufi, dia sendiri juga senang merasa seperti itu, saya sesungguhnya juga takjub melihatnya sembahyang, terkadang saya ikuti juga dia, terkadang sembahyang memang terasa luar biasa, meski kadang saya dongkol dan berpikiran, Tuhan saya terlalu hebat untuk minta disembah oleh saya yang, apalah. Saya ini cuma manusia, manusia yang percaya bahwa segalanya mungkin tiada, yang artinya mungkin juga, manusia yang tidak percaya pada segalanya (mungkin juga sebenarnya saya percaya pada segalanya dan ada), manusia yang tidak percaya manusia, yang sering merasa, manusia itu makhluk paling mengerikan (atau mungkin memang sekaligus yang paling brilian, ah, lihat, betapa terombang-ambingnya saya). Sedang kekasih saya, semalam, tak banyak bicara seperti biasanya, sedikit bermuram durja, wake up on the wrong side of bed katanya, tapi di antara makan malam kami, di antara pramusaji-pramusaji yang bersiap-siap pulang, mungkin ingin segera bertemu Tuhan, atau bertemu yang tersayang, saya ceritakan padanya, bahwa saya sering merasa, jikalaulah ada hal yang paling tak bisa kau percaya di dunia ini, itu pastilah diri sendiri, kami tertawa, mungkin sepakat bahwa kami telah ditipu diri sendiri berkali-kali, mungkin merasai kelucuan diri atau mungkin bahwa bagi saya pribadi, seperti tidak dapat dipercayanya karut marut serpihan-serpihan hal dan persepsi yang saya ceritakan disini.
Dan saya, di penghujung pertemuan kami semalam, ingin sekali memberikan kekasih saya sebuah ciuman brahmana (yang kata Pram, cium di ubun-ubun kepala), saya ingin katakan, saya ingin percaya cinta, saya ingin percaya, apa-apa yang saya lihat dan saya rasa adalah cinta, saya ingin katakan, saya ingin mencintainya, dan mungkin sudah mencintainya, close and far away, seperti perasaan kepada Tuhan (atau seperti cinta seorang Brahmana), yang saya tak tahu ada dan tiadaNya, yang saya tak yakin, saya percaya atau tidaknya. Tapi mungkin, yang lebih menyenangkan saya, terlepas dari percaya tidak percayanya saya akan cinta, Tuhan dan segala hal yang tak selesai itu (kata GM), tahu atau tidaknya saya tentang perkara ini, saya percaya, saya selalu mencintai mereka yang percaya, mereka yang mau ataupun berani percaya. dan saya selalu takjub, melihat mereka yang takjub.

layangan. mungkin seperti keberkeyakinan saya. :|
layangan. mungkin seperti keberkeyakinan saya. 😐